Siapa sangka Bantengan yang selama ini sangat saya hindari tiba-tiba saja menarik minat dan perhatian saya. Bantengan yang selama ini saya anggap sebagai “budaya yang mengerikan” ternyata tidak juga. Frame “mengerikan” yang tercipta dalam kepala saya tidak lain karena pengalaman masa kecil yang tak menyenangkan bersama dengan kesenian Bantengan itu sendiri.
Saya pernah melihat bagaimana orang-orang yang sedang menari itu tiba-tiba mengamuk, lalu makan beling seperti yang diceritakan orang-orang (jika teman-teman pernah mendengarnya, tentu saja). Sejak saat itu saya ketakutan sendiri jika ada suara gending atau lagu “bantengan” yang mengudara.
Namun seiring dengan berjalannya waktu, kini saya tahu Bantengan adalah sebuah seni. Yang tentu saja tidak bisa dinilai baik atau buruk apalagi oleh satu orang saja seperti saya. Melalui Anjani, seorang cantik yang menggeluti dunia Bantengan dalam waktu yang lama ini akhirnya saya menyadari keindahan di balik Bantengan itu sendiri.
Anjani Si “Jagoan” Bantengan
“Setiap seniman itu punya ego sendiri, kita semua pasti ingin punya ciri khas. Saya ingin melakukan sesuatu yang baru. Bukan hanya di Batu atau Jawa Timur, tapi Indonesia. Karena itulah saya memilih kepala banteng sebagai motif batik saya,” cerita Anjani dengan mata berbinar di ruang tamu yang dipenuhi kain-kain batik Bantengan. (dikutip dari heyarai.com)
Mata berbinar Anjani coba saya bayangkan, dan sengaja saya cocokkan dengan pengalaman mistis bersama Bantengan di dekat rumah belasan tahun yang lalu.
Suara tabuhan musik tradisional dan aroma dupa yang menyeruak hidung selalu membuat saya terbayang adegan “mengerikan” itu. Tidak hanya adegan “makan beling” tapi juga ada adegan silat yang khas dengan Bantengannya. Ada suara pecutan serta teriakan yang saat itu membuat saya takut dan berpikir, nonton apa sih saya sebenarnya? Orang nari sambil marah-marah kok dilihat?
Siapa sangka, kegelapan itu sendiri tidak pernah terasa gelap di mata Anjani. Dikutip dari situs heyarai.com yang pernah berkunjung menemui Anjani di kediamannya, seni itu justru yang menjadi cahaya, penerang jalannya untuk menelusuri mimpi bersama lembar demi lembar kain batik karyanya. Bahkan sang Ayah, Agus Tubrun, adalah pendiri dari kelompok budaya Bantengan, Nuswantara.
“Saya selalu berusaha melihat nilai-nilai estetik pada setiap budaya. Bantengan adalah seni milik rakyat yang hampir selalu pelakunya adalah kalangan menengah ke bawah. Selama ini orang selalu mengira Bantengan itu menakutkan, mabuk, mistis dan dianggap negatif. Padahal sebuah seni yang dikemas dengan baik, justru akan membuat takjub. Hal ini yang membuat saya mengenalkan Bantengan dalam kain batik,” lanjut Anjani.
Anjani bersama beberapa pemuda lainnya terpilih dari 3.234 pemuda menginspirasi di seluruh pelosok Indonesia. Penghargaan menjadi sangat penting bagi batik Bantengan yang akhirnya makin kokoh menapakkan langkahnya menjadi salah satu batik khas negeri ini. Yang menarik, hingga saat ini Anjani tidak pernah tahu siapakah orang yang telah mengajukan dirinya untuk memperoleh penghargaan dari PT Astra International itu.
“Saya dari dulu itu jarang mengikuti kompetisi-kompetisi apapun. Jadi penghargaan dari Astra itu murni didapatkan dari orang lain karena sampai sekarang, saya tak tahu siapa yang mendaftarkan,” kenang Anjani sambil tersenyum ketika diwawancarai oleh Heyarai.com
Namun bagi Anjani, SATU Indonesia Awards lebih dari sekadar piala penghargaan. Anjani tahu bahwa Astra memiliki tujuan seperti mimpinya yakni sama-sama ingin memajukan Indonesia dari berbagai aspek. Lalu hingga saat ini, bahkan setelah meraih penghargaan itu, Astra tetap mendampinginya untuk membimbing pada pintu baru impiannya, menjadikan Bumiaji menjadi kampung batik Bantengan untuk Indonesia.
Dengan tujuan barunya yang begitu jelas, Anjani siap melangkah dengan pasti. Mungkin saja bagi masyarakat Bumiaji di masa depan nanti, Anjani Sekar Arum dan kecintaan luar biasanya terhadap batik Bantengan, adalah sang ‘dewi’ di lereng Arjuno. Sama seperti Dewi Anjani yang oleh masyarakat Lombok dianggap sebagai si cantik penguasa gunung Rinjani.