Mendidik generasi Z tentu bukan hal yang mudah. Semua orangtua memiliki perasaan yang sama, kekhawatiran yang sama dan juga harapan yang sama pula. Sedangkan generasi Z mengharapkan segala sesuatunya sesuai tuntutan. Mereka adalah generasi yang tidak pernah harus menyewa buku di perpustakaan atau belajar tentang suatu topik, semua bisa dilakukan secara online, dan segera. Saat ini juga.
Mereka juga kerap tidak sabar atau merasa lebih berhak dibandingkan dengan generasi lain. Hanya saja, bagi mereka, tidak menunggu itu merupakan hal yang biasa saja. Mendidik Generasi Z harus tahu bagaimana mereka belajar dan menerima pengetahuan. Karena mereka tumbuh dan berkembang selama kelahiran algoritma. Mereka terbiasa dengan umpan informasi, hiburan, saran dan permintaan yang dipersonalisasi berdasarkan kepribadian mereka. Semua hal itu adalah sesuatu yang telah terbiasa dilakukan dalam setiap tahap dalam kehidupan generasi Z.
Mendidik Generasi Z adalah Seni
Kehidupan sosial generasi Z berlangsung online. Mereka nyaman di lingkungan online media sosial. Semua itu dianggapnya bukan gangguan, melainkan merupakan bagian integral dari perilaku sosial. Begitu juga dalam hal menerima dan mengirim pesan, generasi Z tidak perlu repot-repot memeriksa surel setiap saat.
Berdasarkan kehidupan sosial merekalah saya mengatakan bahwa mendidik generasi sama saja dengan seni. Tak ada yang benar dan tak ada pula yang salah. Saya yakin setiap orangtua punya kebijakan dan gaya mendidiknya sendiri. Orangtua lah yang memahami kondisi anak-anaknya. Begitu pula dengan seni, tidak ada nilai kebenaran yang mutlak, pun dengan kesalahan. Tidak ada yang bisa mengatakan lukisan Van Googh lebih bagus dibanding Pablo Picasso. Karena setiap orang memiliki selera seninya sendiri.
Mendidik Generasi Z juga sebuah seni yang tidak bisa diperbandingkan. Orangtua mendidik anaknya dengan cara A sedangkan orangtua B mendidik anaknya dengan cara B. Mana yang lebih baik? Seni tidak bisa dibandingkan. Yang dilihat dari cara mendidik bukan hanya outputnya. Tapi untuk memahaminya, kita perlu melihat secara lebih luas dan mendalam.
Memberikan Pengajaran
Beberapa cara kekinian yang dapat saya tulis setelah menyimpulkan sebuah tulisan dari Kak R.D. Asti dalam bukunya yang berjudul Parenting 4.0 antara lain :
1. Rangkul Perangkat Pribadinya
Setelah bertahun-tahun melawan disrupsi digital Generasi Milenial, sudah saatnya bagi pendidik dan orangtua untuk mengubah persepsi tentang smartphone dan anak-anak yang menggunakannya. Generasi Z ini melewati masa-masa sekolah, mendelegasikan bahkan berkolaborasi dalam tugas kelompok melalui obrolan video online.
Kemudian masing-masing mengerjakan tugasnya dari meja belajarnya sendiri di rumah. Bagi anak-anak gen Z, belajar tidak terjadi di perpustakaan lagi. Bisa jadi di kedai kopi tapi melalui sumber daya online dan ruang ngobrol (chatting room). Teknologi digital sudah menjadi infrastruktur kelas juga.
Maka tidak bijak jika lalu dengan otoritas kita sebagai orangtua justru menyita perangkat pribadi mereka lalu hanya diberikan pada saat-saat belajar. Karena perangkat pribadi inilah yang menjadi jembatan mereka untuk belajar, juga bersosialisasi, berkembang, hingga mengasah kreativitasnya.
2. Personalisasi Pembelajaran
Pembelajaran yang dipersonalisasi maksudnya tidak berarti merancang pendekatan yang disesuaikan untuk setiap siswa ya. Tapi menargetkannya ke kelompok dengan menilai kemajuan mereka dan menyesuaikan dengan cepat. Penilaian formatif, terutama ketika dikumpulkan secara digital, dapat memberi pemahaman kuat terhadap materi pelajaran. Pendidik juga orangtua dapat meninjau konsep-konsep yang menantang, atau menggali lebih dalam topik menarik bagi gen Z ini.
Jadi, jika kita sebagai orangtua sudah tahu pola belajar anak, maka tugas kita mengarahkan kesana. Anak-anak gen Z memang cenderung lebih suka diistimewakan. Tidak seperti kakak-kakaknya, mereka ingin sukses dan bersinar dengan cara mereka sendiri, dengan jalan mereka sendiri. Tentu saja dengan belajar seperti caranya sendiri, yang notabene harus menyesuaikan dengan teknologi yang berkembang saat ini.
3. Jam Kerja Online
Aplikasi obrolan video online seperti Whatsapp, Skype, Hangouts, dan lain-lain memungkinkan banyak orang untuk bergabung dalam diskusi. Aplikasi-aplikasi tersebut juga memungkinkan para pengguna berbagi layar untuk menunjukkan tampilan konsep atau pekerjaan. Berikan waktu pada anak, kapan jam kerja onlinenya berlaku. Bukannya melarangnya tanpa alasan, tapi lebih baik memberikan padanya pengertian.
Pembatasan “jam kerja online” ini semata-mata agar anak-anak generasi Z juga memiliki kehidupan sosial di luar gadgetnya.
Memang tidak semudah menuliskannya, tapi saya juga sedang belajar bagaimana Caca kelak bisa memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya.
Semangat terus yaa Bunda 🙂
1 Komentar. Leave new
Anak2 d rumah masuk generasi alpha semua 🙈🙈