Menjadi orang tua ternyata belajarnya ngga cukup hanya satu atau dua bulan. Termasuk ketika saya belajar soal Connection Before Correction ini yang menjadi akar dari pengasuhan disiplin positif ini. Rasa-rasanya, selama empat tahun mendidik dan menemani anak untuk tumbuh dan berkembang, saya masih seperti biji kecambah yang ditanam dalam medium botol plastik seperti saat kita dulu praktik Biologi di Sekolah Dasar.
Intinya sih ada begitu banyak yang belum saya tahu meskipun usia sudah memasuki kepala tiga.
Membesarkan Anak, Seperti Membesarkan Sahabat Untuk Masa Tua Kita Kelak
Tak berlebihan rasanya jika saya mengatakan bahwa Anakku adalah Sahabat dan Guruku. Rasanya anak menjadi salah satu guru terbaik saya dalam pelajaran sabar yang selama ini dijalani. Sejak ada Caca, ia telah menjadi prioritas saya. Caca menjadi guru sekaligus sahabat saya.
Oleh karena itu ketika melihat postingan di instagram beberapa waktu lalu, ada kalimat yang membekas dalam hati saya bahwa:
Kita sebenarnya tidak sadar sedang membesarkan sahabat untuk masa tua kita kelak
Rasanya hanya Caca yang memang mengerti apa yang saya rasakan. Ketika saya marah, kecewa, atau sedih. Caca mau dan mampu menghibur saya dan memberikan begitu banyak pelajaran agar menjadi orang tua yang lebih baik lagi. Meskipun masih banyak kekurangan di sana-sini, apalagi kalau sudah membicarakan soal gadget. Wah udah deh, tidak ada hentinya rasanya keluhan dan pembenaran dari orang tua untuk yang satu ini.
Beberapa saat yang lalu saya mendapatkan insight dari Psikolog Samanta Elsener tentang Connection Before Correction sebagai salah satu pola pengasuhan yang mungkin saja bisa mengurangi anak-anak yang tumbuh di masa pandemi ini untuk bermain gadget. Sehingga merebut atensi mereka dari orang tuanya.
Connection Before Correction
Koneksi sebelum koreksi merupakan akar dari positive dicipline atau pengasuhan disiplin positif. Pola pengasuhan ini tidak menggunakan pendekatan hukuman, tetapi mutual respect. Atas dasar inilah, orang tua akan membantu anak mengembangkan keterampilan prososial (prosocial behavior) dan mampu menciptakan situasi yang aman saat berinteraksi dalam setting sosial. Tentu saja hal ini perlu dimulai dari hubungan yang baik antara orang tua dan anak di rumah.
Sebagaimana yang kita tahu, pola pengasuhan tradisional sering dihubungkan dengan orang tua yang otoriter atau kontrol penuh ada pada orang tua. Pada pola pengasuhan Connection Before Corretion ini, orang tua berusaha menciptakan suasana yang nyaman dan kondusif serta terkoneksi secara emosional.
Perbedaannya jelas terlihat dari bagaimana anak berinteraksi dengan orang tuanya. Anak yang diasuh dengan pendekatan pengasuhan disiplin positif dapat menjadi dirinya sendiri, selalu bercerita kepada kedua orang tua tentang apa yang terjadi dengan dirinya, mencari sumber informasi dari orang tua, berani berdiskusi, berani menyatakan pendapatnya, dan mau terlibat dalam aktivitas bersama keluarga dengan sukarela.
Anak yang berada dalam lingkungan yang kurang interaksi atau kurang bonding dengan orang tuanya terlihat lebih sering melawan apa yang disampaikan oleh orang tua, lebih sulit menunjukkan perilaku caper (cari perhatian), seolah anak rebel di mata orang tua. Akibatnya, orang tua semakin memiliki skema kognitif yang memberi label kepada anak sebagai “anak yang sulit diberi tahu” atau “anak nakal”.
Bahaya dan tantangan terbesar untuk menciptakan pengasuhan disiplin positif adalah konsep pemikiran orang tua yang sudah memiliki label tentang sikap anak sebagai perilaku yang negatif. Jadi, ketika orang tua berupaya memperbaiki semuanya, rasanya begitu melelahkan dan menyakitkan bagi orang tua.
Jika dalam masa transformasi orang tua berhasil melewati tantangan ini, koneksi atau bonding orang tua dengan anak akan kembali membaik, dan bahkan bisa lebih baik lagi. Akan tetapi, jika orang tua kembali merasa frustasi dan terjebak dalam rasa bersalah yang begitu besar dan akhirnya tanpa sadar memutuskan “saya tidak mau melanjutkan usaha ini, saya gagal” justru akan membuat situasi antara orang tua dan anak akan semakin buruk.
Lalu apa yang harus dilakukan? Setidaknya berikut adalah beberapa hal yang perlu kita lakukan untuk memperbaiki “koneksi” dengan anak, ingat kan Connection Before Correction:
- Kebaikan dan perhatian
- Validasi emosi anak
- Berikan pelukan pada anak
- Dengarkan apa yang disampaikan anak tanpa ada distraksi
- Coba tanggapi anak dengan “iya dan..” untuk menunjukkan kita setuju dengan pendapat atau keinginan anak
- Berikan dorongan kepada anak yang sesuai dengan kebutuhan emosionalnya
- Apresiasi usaha anak dan apa yang berhasil diraihnya
- Rutinitas untuk menjalankan aktivitas menyenangkan bersama anak
Nah seiring dengan membaiknya koneksi anak dengan orang tua, anak akan berkembang semakin percaya diri dan mampu membawa dirinya di berbagai setting sosial.
Saya belajar bahwa ketika anak lebih intens bermain dengan gadgetnya, tanpa sadar anak menjadi individu yang pasif. Ia kurang tahu bagaimana harus berinteraksi secara sosial, topik apa yang perlu dibahas, bagaimana membaca situasi sosial yang sedang berlangsung, kurang memahami nilai moral dan norma yang berlaku di masyarakat, bagaimana menanggapi isu intimidasi dari orang lain, dan lain sebagainya.
Hal-hal yang tersebut di atas hanya bisa didapatkan anak dari interaksi secara langsung mom. Itulah sebabnya connection before correction menjadi poin penting yang saya pelajari dan berusaha saya praktikkan saat ini. Sedapat mungkin saya sebagai orang tua perlu membekali anak untuk dapat mengikuti perkembangan zaman yang serba digital dengan kualitas menjalin interaksi sosial yang nyata dan bermakna.
Koneksi dengan sesama manusia melatih nurani anak dan memberikan jiwa yang hidup dalam diri anak. Hal tersebut akan menjadi bekal anak di masa depan untuk menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesama.
Referensi:
Samanta Elsener, M.PSi, Psikolog