Mengajarkan empati pada anak butuh proses yang panjang, tak sekadar memberikan contoh empati pada anak, atau memberi contoh sikap empati pada anak usia dini sehingga ketika ia besar nantinya empati itu sudah menjadi adabnya. Namun sekali lagi, sungguh tidak semudah itu fergusso~
Dalam mengajarkan empati pada anak, saya membawa Isya pada contoh-contoh dari buku The Danish Way of Parenting. Diberi pengantar oleh Ayah Edy, pakar parenting yang sudah malang melintang tersebut, saya merasa bersyukur bisa berkesempatan membaca buku ini. Kenapa? Yuk simak!
Kunci Kebahagiaan Orang Denmark
Selama lebih dari 40 tahun Denmark selalu terpilih menjadi negara paling bahagia sedunia. Menurut World Happiness Report oleh PBB. Kalau teman-teman tak percaya, coba deh cari pasti tak tehitung banyaknya artikel dan kajian yang berusaha memecahkan misteri ini.
Setelah riset bertahun-tehun, ternyata jawabannya sangat sederhana. Apakah itu? Hal ini karena gaya pengasuhan mereka.
Filosofi orang Denmark dalam membesarkan anak terbukti memberikan hasil yang cukup efektif. Anak-anak yang tangguh, emosi terkendali, dan bahagia. Warisan inilah yang membuat Denmark selalu menempati urutan pertama indeks kebahagiaan seluruh dunia.
Dalam buku The Danish Way of Parenting ini saya juga belajar bagaimana cara menumbuhkan sikap empati pada anak. Namun sekali lagi, menerapkan metode ini memerlukan latihan, kesabaran, penyelesaian, dan kesadaran. Tapi hasilnya sepadan karena tujuan kita sebagai orang tua adalah membesarkan anak-anak yang bahagia. Maka, kesuksesan akan menghampiri masa depannya kelak, aamiin.
Mengajarkan Empati pada Anak
Hal pertama yang bisa menjadi pertimbangan dalam upaya mengajarkan empati pada anak adalah membedakan antara kapasitas untuk empati dan konsekuensinya. Yaitu bagaimana seseorang seharusnya menempatkan empati pada tindakan dalam hubungannya dengan yang lain. Hal ini harus dipelajari dan ini membutuhkan waktu yang lama, juga perlu banyak contoh bagus dari orang tua dan sekitarnya (yang berada dekat dengan anak sehari-sehari).
Contohnya saja, Isya sedang bermain di rumah, lalu ada sepupunya bernama Almer yang ingin bermain dengan Isya. Tapi Isya menolak, dan Almer pun menangis. Apa yang harus kita lakukan?
Banyak dari kita sebagai orang tua akan membujuk Isya agar mau berbagi mainan dengan Almer, atau bahkan begitu saja memberikan mainan Isya pada Almer karena Almer menangis. Namun, apa yang sebenarnya diajarkan dari kejadian ini?
Apakah benar bahwa kita harus selalu memberikan seseorang apa yang mereka inginkan hanya karena mereka menginginkannya?
Yang bisa kita ajarkan pada Isya adalah membantunya menyadari ada perasaan sedih ketika melihat Almer menangis. Isya butuh bantuan orang dewasa untuk membantunya menyeimbangkan kebutuhannya dan batasannya, kemudian membuat sebuah keputusan yang bisa dia jamin dan mengambil tanggung jawab untuk dirinya sendiri.
Jika kita memaksanya memberikan mainan pada Almer yang menangis, ini sangat tidak adil dan tidak empatik. Bukan berarti bahwa Isya tidak harus belajar untuk peduli pada perasaan orang lain, tapi yang penting adalah mengajari anak-anak bahwa orang tua mempunyai empati dan belas kasihan pada mereka semua, memahami apa yang mereka rasakan dan apa yang mereka butuhkan. Hal ini juga akan mengajarkan pada Almer bahwa dia tidak harus selalu mendapatkan semuanya dengan menangis.
Jadi apa yang bisa kita lakukan sebagai orang tua Isya?
Setelah membiarkan anak-anak mencoba untuk mencari solusi bagi mereka sendiri, ibu atau ayah Isya mungkin akan membaca bahasa tubuhnya dan memintanya jika dia mau berbagi. Mungkin sebagai orang tuanya saya bisa menyarankan suatu kesepakatan. Isya bermain dengan Almer lima menit lagi dan kemudian Almer bisa meminjam mainan Isya. Sedangkan Isya memulai aktivitas baru.
Berbagi dan bermain bersama adalah hal menyenangkan, jika kita sedang dalam suasana hati yang baik. Seperti itulah yang saya ajarkan. Dan boleh saja kadang-kadang mengatakan tidak meski penting juga untuk belajar untuk berbagi dan menikmatinya, namun jangan pernah memaksa mereka ya Bun..
Dalam jangka panjang, jenis pelajaran empati seperti ini bisa berdampak besar. Ketika kita mengajari anak bahwa dia tidak bisa dipaksa untuk melakukan sesuatu hanya untuk memenangkan orang lain atau hanya untuk membuat sesuatu lebih mudah, ini menjadi pelajaran yang berguna pada kemudian hari. Jika kita membesarkan anak kita dengan empati, mereka akan punya waktu yang lebih mudah untuk memahami dan mempraktikkannya sendiri.
Cara lain orang tua Denmark memupuk empati pada anak adalah dengan menunjukkan emosi orang lain kepada mereka. Tidak jarang kita mendengar seperti ini:
“Kamu denger dia nangis? Menurutmu kenapa dia nangis?
“Dia kelihatannya marah. Menurutmu mengapa dia marah?”
“Aku lihat dia sedang sedih, kenapa ya?”
“Kenapa sedih Nak? Jangan konyol.”
Namun orang tua Denmark cenderung mengenali emosi sebelum mendiskusikannya dengan anak dan mereka menyejajarkan diri dengan anak untuk menunjukkan bahwa mereka melihatnya.
“Aku paham kamu sedih. Kamu sedih karena apa? Karena dia mengambil mainanmu ya? Nak, Almer itu masih bayi kecil lho, Almer ngga sengaja, Almer sayang sama Isya makanya dia mau main sama Isya.”
Tidak selalu ada alasan yang baik untuk emosi anak, atau solusi mudah untuk mereka. Tapi dengan setidaknya mengenali mereka dan mencoba untuk tidak menghakimi, kita mengajarkan rasa hormat. Bayangkan jika keadaan emosi orang dewasa selalu dikatakan bahwa ia konyol, tidak perlu menangis, menangis itu salah, cengeng, dan kita diberi tahu bagaimana merasakan sesuatu sebagai gantinya.
Salah satu pilar dalam cara Denmark untuk mengajarkan empati adalah dengan tidak menghakimi.
Orang Denmark mencoba untuk tidak menghakimi anak, teman-teman, teman dari teman mereka, atau keluarga mereka. Tidak hanya untuk orang yang berbicara dengan suara keras, tapi semua anggota keluarga memiliki hak untuk didengarkan dengan serius, tidak hanya seorang pun yang berteriak paling keras. Karena penting unruk menjadi toleran dari diri sendiri dan orang lain.
Dengan memupuk lebih banyak empati, lebih sedikit mempermalukan, dan lebih banyak gaya autentik serta kerapuhan dalam rumah, kita akan membantu anak-anak untuk tumbuh menjadi orang yang tidak mudah menghakimi orang lain, dalam jangka panjang.
Semoga artikel ini bermanfaat ya!