Jika kita melihat sebagian besar pesisir Indonesia, laut seringkali menjadi batas, memisahkan anak-anak pulau dari akses pendidikan yang setara. Di tengah tantangan geografis dan ekonomi inilah, sebuah gerakan muncul dari inisiatif murni anak-anak muda Sulawesi Selatan. Gerakan itu bernama Floating School Makassar (Sekolah Terapung).
Di balik pelayaran kapal yang membawa buku, laptop, dan harapan ke pulau-pulau terpencil di Kabupaten Pangkep, berdiri tiga sosok kunci: Nur Al Marwah Asrul, Rahmat Hidayat, dan Rahmania Rahman. Mereka adalah trisula yang membuktikan bahwa pendidikan sejati tidak terikat pada empat dinding kelas, melainkan pada keikhlasan hati dan keberanian untuk berlayar melawan arus.
Titik Nol dan Jeritan Kesenjangan
Floating School lahir dari kesadaran pahit akan jurang ketidaksetaraan pendidikan di wilayah Timur Indonesia, khususnya di kepulauan kecil dekat Makassar dan Pangkep. Di sana, tantangan bukan hanya kurangnya fasilitas, tetapi juga rendahnya minat baca, putus sekolah dini, dan kurikulum yang seringkali tidak relevan dengan kehidupan bahari mereka.
Nur Al Marwah Asrul, Rahmat Hidayat, dan Rahmania Rahman, tiga serangkai ini, yang berasal dari latar belakang berbeda namun memiliki kepedulian yang sama. melihat bahwa menunggu intervensi pemerintah besar adalah kemewahan yang tidak dimiliki anak-anak pulau. Mereka memutuskan bahwa aksi harus dilakukan segera.
“Manusia tidak akan menemukan lautan baru jika tidak berani kehilangan indahnya pemandangan di tepi pantai.” — Sebuah kutipan yang sering digaungkan oleh para pegiat pendidikan, seolah mendefinisikan keberanian para pendiri Floating School ini untuk meninggalkan zona nyaman di kota dan “kehilangan pantai” demi berlayar menuju tantangan baru.
Pada tahun 2016, dengan modal semangat, sedikit donasi, dan kapal sewaan, Floating School – Sail to Serve memulai layar pertamanya. Mereka membawa papan tulis kecil, beberapa kardus buku, dan perlengkapan prakarya untuk mengajar anak-anak yang sehari-hari akrab dengan debur ombak.

Seorang instruktur menunjukkan sebuah buku kepada sekelompok siswa remaja di tepi air (Rahmat Hidayat)
Membaca Bukan Sekadar Mengeja: Filosofi Floating School
Floating School bukanlah sekolah formal pengganti SD atau SMP. Mereka hadir sebagai pendidikan non-formal yang fokus pada tiga pilar utama:
- Literasi dan Numerasi Dasar: Mengisi celah kemampuan membaca dan berhitung yang sering tertinggal karena keterbatasan guru dan fasilitas di pulau.
- Pengembangan Skill dan Kreativitas: Mengajarkan keterampilan praktis, public speaking (melalui pidato cilik), menggambar, hingga kerajinan tangan. Ini bertujuan untuk menumbuhkan kepercayaan diri dan potensi kewirausahaan mereka.
- Pendidikan Lingkungan (Cinta Bahari): Membangun kesadaran bahwa laut adalah masa depan mereka. Anak-anak diajarkan tentang konservasi laut, daur ulang, dan pentingnya menjaga ekosistem pesisir.
Di sini, kurikulum disusun agar relevan dengan kehidupan anak pesisir. Tidak ada yang lebih otentik daripada belajar biologi sambil mengamati terumbu karang atau belajar geografi sambil berlayar.
Peran Kunci Sang Penggagas
1. Rahmania Rahman (Inisiator dan Penggerak Teknis)

source : Rahmat Hidayat (Inside Indonesia)
Rahmania, atau yang akrab disapa Kak Ammy, seringkali menjadi sosok yang paling sibuk di balik layar operasional. Ia adalah manajer logistik, koordinator relawan, dan penjaga moral tim.
Diceritakan dalam berbagai laporan, pagi hari sebelum berlayar, Kak Ammy sibuk memastikan semua logistik. Mulai dari papan tulis, laptop, buku, hingga bekal relawan, terangkut sempurna. Ia memastikan kapal navigator, Daeng Sikki, siap menjemput di dermaga. Perannya adalah memastikan idealisme dapat berjalan di atas rel realitas logistik yang sangat menantang.
Sebagai seorang ibu, Rahmania menunjukkan bahwa kepedulian sosial dapat diintegrasikan dengan peran domestik. Ia mewakili gambaran bahwa kepemimpinan sosial di bidang pendidikan menuntut multi-tasking yang luar biasa, menggabungkan hati nurani dengan ketelitian teknis.
2. Rahmat Hidayat (Visi dan Pengembangan Program)
Rahmat Hidayat dikenal sebagai figur yang memiliki visi kuat dalam pengembangan program dan perluasan jangkauan Floating School. Melalui presentasi di berbagai forum regional (seperti Festival Forum Kawasan Timur Indonesia), Rahmat sering mengungkapkan bagaimana kondisi ketertinggalan di Kabupaten Pangkep pada tahun 2016 mendorongnya untuk beraksi.
Perannya adalah mengubah idealisme menjadi model program yang terstruktur. Ia fokus pada pengembangan skillpemuda dan penggunaan teknologi untuk menjembatani kesenjangan. Kehadirannya memastikan bahwa Floating School tidak hanya menjadi acara weekend, tetapi menjadi institusi non-formal yang berkelanjutan dan terukur dampaknya.

source : Rahmat Hidayat (Insie Indonesia)
3. Nur Al Marwah Asrul (Advokasi dan Komunikasi)
Nur Al Marwah Asrul melengkapi tim ini sebagai wajah publik yang mengadvokasi pentingnya pendidikan anak pulau. Dalam lingkungan relawan, perannya seringkali melibatkan komunikasi dengan pihak eksternal, pembangunan jejaring, dan menjaga narasi publik tentang misi Floating School.
Kontribusi Marwah sangat vital dalam menarik relawan dan, yang terpenting, kepercayaan publik dan donatur. Dalam kegiatan sosial, kepercayaan adalah mata uang utama, dan melalui komunikasi yang efektif, Marwah memastikan bahwa semangat berbagi dari Floating School dapat menjangkau lebih banyak pihak di daratan.
Dampak Yang Melampaui Kurikulum
Dampak dari Floating School jauh melampaui kemampuan membaca dan berhitung. Melalui inisiatif ini, anak-anak pulau yang dulunya dianggap pemalas atau sulit diatur, menemukan identitas baru.
“Kita harus membebaskan diri kita dari harapan laut akan tenang. Kita harus belajar untuk berlayar di angin kencang.” – Aristoteles.
Kutipan ini relevan dengan etos yang ditanamkan Floating School. Anak-anak diajarkan untuk menjadi pelaut yang berani dalam hidup, tidak hanya menikmati pantai. Mereka dilatih untuk berani berbicara, berani bermimpi, dan berani membuktikan bahwa stigma negatif tentang anak pesisir adalah salah.
Floating School berhasil membangun:
- Literasi Baru: Memperkenalkan buku-buku bacaan (bukan hanya buku pelajaran) yang memantik imajinasi dan memperluas cakrawala pengetahuan mereka.
- Kepemimpinan Muda: Melalui sesi pidato, anak-anak didorong untuk menemukan suara mereka, mengubah mereka dari objek pendidikan menjadi agen perubahan di komunitas mereka sendiri.
Lautan Tanpa Batas

source : Rahmat Hidayat (Inside Indonesia)
Kisah Tiga Serangkai, Nur Al Marwah Asrul, Rahmat Hidayat, dan Rahmania Rahman adalah pengingat bagi para pemangku kebijakan dan masyarakat umum. Kesenjangan pendidikan di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar) memerlukan solusi yang inovatif, personal, dan berani.
Floating School Makassar adalah manifestasi bahwa selama masih ada pemuda yang bersedia membawa buku dan harapan di atas kapal sewaan, mimpi anak-anak Indonesia, bahkan di tengah samudra sekalipun, akan selalu bisa dijangkau. Inilah model pendidikan yang tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga menanamkan cinta pada tanah air, laut, dan diri sendiri.
Tiga serangkai Nur Al Marwah Asrul, Rahmat Hidayat dan Rahmania Rahman mendirikan Floating School Makassar. Floating School merupakan program pendidikan non-formal yang bergerak dalam pengembangan skill dan kreatifitas pemuda yang tinggal di pulau-pulau. Setelah berlangsung di Pulau Satando, Sauli dan Saugi, Floating School berlanjut ke Pulau Samatellu di Kabupaten Pangkep. Floating School juga ada di Pulo Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
DI teras-teras rumah, di dermaga bahkan di perahu-perahu yang berlayar di kepulauan itu tidak jarang terdapat pemandangan anak-anak yang tekun belajar. Beberapa ada pula yang asyik menggambar ataupun belajar soal pelestarian terumbu karang ditemani beberapa pendamping.
Itulah kegiatan Floating School Makassar di Kabupaten Pangkep. Sekolah nonformal yang didirikan Nur Al Marwah Asrul, Rahmat Hidayat, dan Rahmania Rahman berada di tiga pulau, yakni Pulau Satando, Saugi, dan Sapuli.
Mulai digagas pada 2016 dan beroperasi sejak setahun kemudian, sekolah apung itu mengemban visi meningkatkan kualitas pemuda di kepulauan melalui workshop kreatif berdasarkan minat dan bakat.
“Kami menyadari, kemampuan pemuda-pemuda banyak yang belum tergali dengan maksimal. Banyak bakat, talenta, dan passion yang belum terasah dari mereka,” ungkap Rahmat Hidayat yang akrab dipanggil Mato. Pria ini rela meninggalkan pekerjaan dengan gaji tinggi demi mengurusi floating school.
Mereka sengaja memilih sekolah apung karena Kabupaten Pangkep memiliki sekitar 120 pulau dan 82 pulau yang di antaranya berpenghuni. “Floating schooli mulai digagas tahun 2016 dan resmi beroperasi pada 7 Januari 2017.”
Meski ada kemiripan nama dengan program serupa di beberapa negara, Floating School Makassar tidak ada kaitan dengan program serupa di negara lain,” ujar Nur Al Marwah Asrul yang akrab disapa Nunu. Pria yang berprofesi sebagai dosen ini mengetahui program yang sama di luar negeri setelah menjalani Floating School Makassar berjalan.
Floating school di Kabupaten Pangkep lebih menekankan pada kreativitas. Nunu dan kedua temannya melihat kurikulum yang ada kurang mengakomodasi muatan lokal yang langsung berhubungan dengan kehidupan sehari-hari anak didik.
Sebagai contoh, anak-anak di kepulauan harus belajar tentang kereta api. Padahal, akan lebih berguna jika mereka belajar tentang pembuatan perahu atau cara pelestarian terumbu karang.
Floating school menyediakan 7 kelas kreatif sesuai dengan minat, bakat, dan kebutuhan para pemuda di daerah target, yakni kelas menulis, menggambar, fotografi, musik, menari, prakarya, dan kelas komputer. Di akhir program yang berlangsung 6 bulan itu para peserta menampilkan kemampuan dan karya mereka di pulau dan Kota Pangkajene. Hingga kini ada 70 peserta, sedangkan anak-anak di bawah usia 13 tahun tidak ikut kegiatan floating school dan diberi kegiatan membaca serta bercerita.
Kini program di tiga pulau itu sudah usai dan terlihat perubahan positif pada anak-anak di sana. Di antaranya mereka lebih berani mengemukakan pendapat, memiliki beragam keterampilan, dan termotivasi melanjutkan pendidikan lebih tinggi.
Tidak semata anak-anak, perubahan juga terjadi pada orangtua. Pada akhirnya mereka memiliki kesadaran menyekolahkan anak ke jenjang lebih tinggi. Pantaslah Rahmat Hidayat dan dua kawan lainnya tersebut menerima Apresiasi SATU Indonesia Awards dari Astra karena ide Floating School yang digagasnya. Tak hanya memberikan kesempatan pendidikan agar lebih merata, tapi juga memberikan nyala api dan semangat pada siapa saja untuk terus bergerak dan berdampak.
Semoga artikel ini bermanfaat yaa! #APA2025-PLM
