Saat Caca berusia satu tahun, tepatnya sebelum pandemi datang, Caca seringkali bertemu dengan Bapak Tukang Sampah yang biasa mengambil sampah rumah kami di pagi hari. Saat Pak To-begitu orang-orang memanggilnya- menghampiri rumah-rumah di kompleks kami untuk mengumpulkan sampah, sudah dipastikan saat itu Caca sudah mandi, wangi, bersih dan siap bermain di luar.
Ketika saya harus berangkat kantor di siang hari, saya sempat menemaninya bermain sampai pukul sembilan pagi. Kadang saya ajak Caca ke pasar, lalu bermain-main di teras rumah setelah sarapan. Pak To adalah Bapak Tukang Sampah yang ramah dan selalu mengajak ketiga anaknya ikut bersamanya. Ketiga anak itu kalau ditaksir kira-kira berusia sepuluh tahun, tujuh tahun, dan yang paling kecil empat tahun.
Begitu Pak To lewat dengan gerobak sampahnya, Caca sudah hapal. Ia akan berlari keluar rumah dan akan beraksi. Aksinya ini benar-benar caper. Minta diperhatikan oleh anak-anak Pak To yang selalu ikut Bapaknya itu. Ada yang duduk di pegangan gerobak, ada juga yang berjalan kaki mengikuti langkah kuat Bapaknya ke rumah-rumah.
Tak jarang Caca bermain juga bersama mereka. Mengikuti anak perempuan Pak To yang kira-kira berumur tujuh tahun itu.
Caca yang biasanya tidak mau berbagi coklat yang ia punya, justru menunjukkan empatinya dengan anak-anak Pak To tersebut. Kadang tanpa sepengetahuan Pak To, Caca memberikan kuenya. Hingga kadang-kadang Pak To mampir ke rumah kami,
Buk, terimakasih jajannya..
Belajar dari Tukang Sampah
Kami sangat menghormati Pak To. Pekerjaannya sebagai tukang sampah seringkali mengingatkan saya untuk bersyukur. Bukan, bukan mengasihani. Justru saya banyak belajar dari beliau. Bagaimanapun keadaannya, Pak To tidak pernah meninggalkan anak-anaknya di rumah sendirian. Pak To mengajak anak-anaknya yang seharusnya sudah ada yang bersekolah. Namun saya tahan untuk tidak bertanya. Dalam kondisi seperti itu saya cukup memahami mengapa anak-anaknya dibiarkan untuk ikut.
Pak To adalah sosok tukang sampah yang selalu dicari-cari di kampung kami. Bagaimana tidak? Kalau Pak To sakit sehari saja, kami sudah kebingungan. Mau dibuang kemana nih sampahnya? Sampah menumpuk sehari saja sudah menimbulkan aroma yang tidak sedap. Bagaimana kalau rumah-rumah kami ditinggalkan Pak To selama berhari-hari?
Pak To, sosok tukang sampah yang juga memiliki nilai diri yang tinggi. Meskipun beliau adalah tukang sampah dengan gaji tiga ratus ribu rupiah sebulan, beliau tak pernah berkecil hati. Apalagi meminta simpati, bahkan meminta-minta. Justru di situlah kami menghargai dan menaruh hormat pada beliau. Karena tidak semua orang yang kita anggap kekurangan itu memang membutuhkan belas kasihan kita.
Saya jadi teringat suatu ketika Ayah saya memberikan yang begitu saja pada beliau. Katanya santunan dari seorang pengusaha emas yang dititipkan pada ayah saya. Tahu apa jawaban tukang sampah yang mulia itu?
Bapak, benar ini untuk saya? Apa di sini tidak ada janda dan yatim piatu?
Setelah dijelaskan bahwa memang “angpau” tersebut memang sudah dibagi untuk beberapa orang, barulah Pak To mau menerimanya. Saya seringkali merasa iri dengan besarnya jiwa beliau.
Lewat Pak To, Caca jadi tahu apa saja tugas Bapak tukang sampah. Seberapa besar jasa mereka untuk kebersihan dan kesehatan lingkungan. Caca juga berlatih untuk mengasah mata sosialnya dengan bergaul bersama anak-anak Pak To. Saling berbagi kue, juga berbagi senyuman. Sebisa mungkin memang harus tersenyum jika bertemu orang, begitu kan Caca?
Mudah-mudahan Caca bisa terus tumbuh menjadi anak yang memiliki mata sosial yang tajam, tidak mudah meremehkan orang, juga tidak menilai orang dari penampilan serta strata sosialnya. Lalu yang tidak kalah pentingnya adalah mau berteman dan bergaul dengan siapapun tanpa membeda-bedakan mereka.
1 Komentar. Leave new