Pengalaman memilih sekolah untuk anak ternyata tidak semudah seperti yang saya bayangkan. Dulu saya berpikir yang penting dekat dengan rumah, dan sekolahnya cukup seperti sekolah saya dulu, selesai. Ternyata dalam perjalanannya ada kendala yang dihadapi oleh saya dan Isya. Mau curhat kesini saja barangkali teman-teman juga punya solusi bagi ibu baru seperti saya.
Pengalaman Memilih Sekolah Untuk Anak
Jadi sudah kurang dari satu tahun belakangan ini Isya masuk sekolah Pendidikan Anak Usia Dini di salah satu TK yang dekat dengan rumah. Dulu TK ini juga TK tempat saya menimba ilmu selama 2 tahun (mulai dari TK A). Saya tidak ingat ada kendala apa dulu ketika sekolah di Taman Kanak-Kanak, sepertinya semua baik-baik saja.
Namun yang saya ingat dari Isya si bayi dari generasi Corona yang masih 3,5 tahun umurnya ini, dia punya kendala yang agak serius menurut saya. Memang belum waktunya untuk masuk sekolah formal seperti PAUD, tapi saya berpikir tidak ada salahnya jika tujuan saya adalah mengajarkan padanya tentang social skill. Karena selama pandemi ia hanya berada di lingkaran saya dan Bapaknya saja. Dia belum terbiasa dengan kehadiran orang lain, begitu juga dengan teman yang sebaya.
Karena pertimbangan itulah saya memberanikan diri untuk memasukkan Isya ke PAUD. Harapannya dia akan mau bersosialisasi dengan temannya, gurunya, dan belajar konsentrasi selama beberapa menit saja. PAUD tempat Isya sekolah ini menyenangkan kok, begitu datang mereka akan membaca doa bersama-sama, menyanyi, guru akan bercerita atau mendongeng, barulah kemudian anak-anak akan diberikan tugas mewarnai, menempel, mencocokkan gambar, dan masih banyak lagi.
Durasi anak-anak berada di sekolah hanya 90 menit saja. Selama 30 menit terakhir anak-anak baru boleh bermain dan makan camilan bersama anak-anak lainnya di dalam kelas.
Hari pertama sekolah, Isya masih minta ditunggui di dalam kelas, hari kedua Isya sudah mau saya tinggalkan dengan catatan saya harus tetap berada di luar kelas. Jadi kapan saja ia membutuhkan saya, atau ingin melihat saya, ibunya ada di sana. Dalam fase ini Isya sudah mulai percaya diri dan mau bermain dengan teman-temannya.
Oleh karena itu 2 minggu setelah itu saya memberanikan diri (juga didukung oleh gurunya) untuk meninggalkan Isya sendiri, tidak perlu ditunggui baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Saya percaya pada guru-gurunya, saya juga percaya Isya bisa melalui 90 menit di sekolah tanpa saya. Akhirnya hari itu saya pulang dan membereskan beberapa pekerjaan.
Namun ternyata sebelum waktu pulang saya sudah ditelpon oleh gurunya, katanya Isya muntah dan menangis. Karena nangisnya ngga berhenti, guru memutuskan untuk menghubungi saya. Setelah saya sampai, bu Guru bercerita :
Tadi itu ada pengenalan sama rempah-rempah, anak-anak diminta untuk minum jamu. Isya kemudian muntah. Apa tidak terbiasa minum jamu?
Deg. Saya agak tidak setuju juga, meskipun anak-anak tidak dipaksa untuk minum jamu. Saya tahu bu Guru hanya mengenalkan jenis minuman sehat seperti jamu. Namun, untuk anak usia 3 atau 4 bahkan 5 tahun saya pikir tentu belum familiar dengan jamu. Meskipun sebatas jamu beras kencur yang memang manis dan menurut saya tidak ada pahit-pahitnya ya.
Selain itu tentu saja tidak semua anak pernah merasakan jamu. Tidak semua anak terbiasa dengan itu. Maksud bu Guru mungkin untuk mengenalkan, saya tidak tahu apakah Isya terpaksa minum jamu itu karena teman-temannya juga minum atau hanya mencium baunya saja, yang jelas untuk ukuran anak sekecil ini saya kok tidak setuju kalau mengenalkan minuman sehat dengan rempah itu melalui minum jamu.
Sedih sih, karena gara-gara itu Isya sama sekali tidak mau saya tinggalkan di sekolah. Jadi saya harus ikut menunggunya di dalam kelas. Yang paling membuat saya sedih, Isya jadi tidak mau lagi sekolah. Dulu, dia ini semangat sekali berangkat sekolah dan selalu langsung bangun begitu saya katakan hari ini sekolah.
Sekarang Isya selalu punya alasan untuk menolak datang ke sekolah.
Isya capek Buk..
Isya mau di rumah aja Buk..
Isya ngga mau sekolah!
Saya merenung, pasti ada yang membuatnya trauma atau takut. Entah itu karena jamu atau karena saya terpaksa bohong padanya kala itu. Berbohong akan menunggunya di depan kelas, namun begitu ia sangat membutuhkan ibunya untuk mengadu, ternyata saya tidak ada di sana. Nyesel banget.
Ketika saya berkomitmen untuk tidak lagi bohong padanya dan akan menunggunya di luar, ibu Guru malah menyuruh saya untuk meninggalkannya saja. Katanya harus tega dan percaya pada guru. Bukan itu maksud saya. Bukan karena tega atau tidak percaya pada gurunya. Saya sepenuhnya percaya pada guru, namun yang menjadi pokok masalahnya adalah tentang janji saya pada Isya.
Saya yakin, begitu Isya sudah nyaman dan merasa tidak ada yang dia khawatirkan, dia dengan sendirinya akan mengatakan : Ibu nunggu di rumah saja. Saya menantikan itu, tanpa harus berbohong padanya. Namun bu Guru ternyata selalu mengatakan hal yang sama pada saya setiap harinya. Harus ikhlas dan percaya untuk ditinggal. Padahal Isya adalah anak yang sangat sensitif, kalau langsung saya ‘campakkan’ dia tidak akan lagi mau untuk berangkat sekolah.
Bagaimana lagi, daripada saya diminta untuk tidak duduk di kelas mendampinginya untuk sementara, akhirnya saya pun mengiyakan permintaan Isya untuk tidak sekolah.
Jadi ini sudah satu bulan dia kadang ke sekolah, kadang tidak. Saya bahkan ingin memindahkannya ke sekolah baru saja. Ke sekolah yang mendukung perkembangan psikologi dan kembali menyembuhkan rasa rendah diri, ketakutan, dan kekhawatirannya selama ini. Sedih banget deh Bu ibu…
Lucunya, Isya langsung mengiyakan begitu saya katakan dia akan saya pindahkan ke sekolah baru. Dia bilang, Buk kapan Isya sekolah di sekolah baru? hehe.. padahal daftar aja belum. Saya ingin konsultasi dulu dengan gurunya, menyamakan persepsi dengan mereka, sehingga saya, sang anak, dan gurunya sama-sama enak dan bisa saling mendukung.
Saya jadi ingin memilih sekolah untuk anak dengan lebih serius lagi. Tidak hanya membaca brosurnya lalu mendaftar. Tapi saya perlu untuk berbincang bersama gurunya, bertukar pikiran dan menyampaikan kendala yang dialami oleh Isya. Bismillah, doakan cocok yaa untuk sekolah barunya Isya yang akan saya lihat di akhir pekan nanti 🙂
Boleh dong berbagi tips atau pengalaman memilih sekolah untuk anak dari Ibu-ibu juga di kolom komentar 🙂
7 Komentar. Leave new
Sekolah lama yang bermasalah sih itu mba. Ada penjelasannya di buku parenting Ayah Edy.
Aku dulu baca ini, dan sekarang mau beli yang versi parenting anak remaja. 🙂
Anak cantik nanti di sekolah baru hebat yaa…. Jdi sedih deh ya…. Krena PAUD ini termasuk tempat pertama anak bersosialisasi selain dengan support sistemya, jd memang sebaiknya anak betul2 merasa nyaman ketika mengenal orang lain selain circle keluarganya…. Pada anak dengan masalah pendidikan (gak mau sekolah, gak mau nulis, sakit terus menerus, dll banyak deh case nya) memang perlu mencari penyebab utama yg menimbulkan ketidaknyamanannya…. Jika sudah menemukan perlu di berikan pengertian dan kepercayaan bahwa kondisi tersebut sedang di perbaiki,,,, jangan lupa meminta maaf atas kesalahan bunda (abai krena tdk ada di depan kelas) beri alasan yg jelas mengapa bunda harus pergi meninggalkannya pada saat itu ( ini juga bagaian dr kita mengajarkan untuk meminta maaf, belajar jujur dan setiap orang boleh kok di beri kesempatan untuk lebih baik) jd jangan di lewatkan ya bunda…. Tanyakan juga perasaannya ketika hal tersebut terjadi (reaksi emosional pada anak perlu untuk diketahui, misal marah, kecewa, sedih) beri kesempatan pada anak untuk mengekspresikan nya kemudian minta maaflah dan buat janji bersama terkait apa yg akan di sepakati bersama…. Untuk nanti di sekolah baru sebaiknya guru2 perlu tau riwayat sbelumnya…. Sehingga meminimalisir hal ini terjadi lagi…. Semangat ya anak camtik, sehat selalu….. ( tante dulu di omongin juga krena milihin sekolah kakak cilla di tmpt yg menurut tante lebih nyaman untuk kakak cilla dr pda di PAUD kelurahan) tp ya gimana lgi demi kebaikkan bersama… Karena setiap anak punya pribadi yg berbeda2 kan) nah ibu yg lebih peka apa yg di butuhin termasuk model guru, pembelajaran dan suasana apa di sekolah yg sesuai dengan anak nya masing2)…. Semoga betah di sekolah baru ya adek isya sayang….. Kiss kiss dr tante dan kakak cilla 😊😊😊
Saya baca buku parenting sejak anak saya lahir.
Buku parenting pertama saya itu ya buku ayah edy.
Tentang serba serbi pemilihan sekolah juga begitu, daapt info banyak dari buku-buku ayah edy
Sejak anak sulung saya berusia setahun, saya sudah searching ttg TK dan SD.
Saya dan suami memutuskan untuk tidak memasukkan anak ke PAUD. Tapi, langsung ke TK A dan TK B. Itu pun setelah mereka melewatkan umur 4 tahun. Jd diharapkan SD ketika umur plg tdk sdh mendekati 7 tahun.
Saya ingin dekat terus dengan mereka selama mungkin. Dan ‘selama mungkin’ itu paling hanya 4-5 tahun.
Setelah msk sekolah, wkt bersama akan byk berkurang.
Dulu di Medan, ketika anak-anak belum sekolah, saya ikutkan mereka kelompok bermain, yang ngumpulnya itu cuma sebulan sekali.
Trus saya ikut komunitas parenting yang sering berkegiatan untuk anak.
Kayaknya seperti itu dulu cukuo untuk latihan ketemu orang banyak bun.
Suatu hal yg baik jika anak kita tak harus ketemu teman sebayanya saja.
Kalau dia sering bertemu dengan orang orang berbagai macam usia, itu justru lebih baik.
Ini pengalaman saya lho bun
Jadi sedih baca cerita tentang Isya.
Kalo saya memilih sekolah untuk anak, dimulai dari pengenalan dulu. Biasanya saya bawa anak saya ke sekolah tersebut tapi belum mendaftar. Saya sengaja main untuk menanyakan pada si sulung apakah dia mau sekolah di situ apa tidak.
Saat itu umurnya 3.5 tahun. Saya berencana memasukkan ke PAUD usia 5. Namun saat umur 3 dia selalu minta ke sekolah. Makanya kemudian saya mengenalkan ke sekolah karena permintaannya.
Karena ia nyaman di lingkungan sekolah itu, sudah kenal dengan calon gurunya makanya di hari pertama beneran sudah ditinggal.
Bagi saya memang, yang penting di kecil nyaman dulu sehingga percaya ketika ditinggal dia akan dijemput kembali.
Aku pernah juga ada di situasi ini Mbak. Mulai dari searching di Google, media sosial, tanya orang, sampai survey ke lokasi dan tanya2 mulai dari ideologi, jam belajar, kurikulum, hingga biayanya.
Namun, hasilnya memang akan lebih memuaskan ketika kita mengusahakan yang terbaik. Meski terkesan ribet, tapi kalau dapat sekolah yang tepat, nggak akan menyesal belakangan.
Semoga Isya menemukan sekolah yang tepat untuk membantu tumbuh kembangnya baik demi kecerdasan otak maupun kecerdasan mentalnya juga.. Semoga bu Caca juga semangatdan terus belajar ^_^
Jadi isya pindah sekolah gara gara abis nyobain jamu di sekolah mbak jihan? Hmm gimana ya, pasti sekarang ada pihak guru yang merasa bersalah betul. Apalagi sampai asetnya keluar satu…semoga adek isya betah di sekolah baru ya mbak